Catatan
#01: Mengapa Doaku Tak Kunjung Terkabul?
Jika seorang muslim berdoa pada Allah
agar diberi rezeki dan diberi keturunan, akan tetapi doanya tak kunjung pula
terkabul, apakah seperti itu adalah buah dari tidak diterimanya amalan?
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz rahimahullah diajukan pertanyaan seperti di atas. Lalu
jawaban beliau rahimahullah,
Ada berbagai faktor yang menyebabkan doa
tak kunjung dikabulkan. Doa tersebut tidak terkabul boleh jadi karena jeleknya
amalan, maksiat dan kejelekan yang seseorang perbuat. Boleh jadi juga sebabnya adalah
karena makan makanan yang haram. Juga bisa jadi karena ia berdoa biasa dalam
keadaan hati yang lalai. Boleh jadi pula karena sebab lainnya.
Catatan dari fatwa Syaikh Ibnu Baz pada link http://www.ibnbaz.org.sa/mat/17235, diakses pada 24 Oktober 2017.
Catatan #02: Tiga Cara Doa itu Terkabul
Dari Abu Sa’id radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ
لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا
إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ
يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ
مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ ».
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan
do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar
kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: (1) Allah akan segera
mengabulkan do’anya, (2) Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan
(3) Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat
lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak
mengabulkan do’a-do’a kalian.” (HR. Ahmad, 3:18. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid.)
Contoh gampangnya seperti seorang
dokter. Ia mendapati pasien yang sakit dan ingin diobati. Si pasien mengeluhkan
penyakitnya seperti ini dan seperti ini. Lantas dokter pun memberikan ia resep
obat. Boleh jadi yang ia beri adalah yang persis yang diminta oleh si pasien.
Boleh jadi pula dokter beri resep yang lebih baik, lebih dari yang si pasien
kira. Boleh jadi pula si dokter memberi resep obat yang lain, tidak seperti
yang si pasien minta, namun dokter tersebut tahu mana yang terbaik. Demikianlah
permisalan terkabulnya do’a.
Catatan #03: Doa Bisa Menolak Takdir
Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ
وَلاَ يَزِيدُ فِى الْعُمُرِ إِلاَّ الْبِرُّ
“Yang dapat menolak takdir hanyalah
doa. Yang dapat menambah umur hanyalah amalan kebaikan.” (HR. Tirmidzi, no.
2139 dalam Kitab Al-Qadr, Bab “Tidak ada yang menolak takdir kecuali doa”.
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 154, 1:286-288,
menyatakan bahwa hadits ini hasan.)
Yang dimaksud doa bisa menolak takdir
terdapat dua makna:
- Kalau seseorang tidak berdoa, maka takdirnya seperti itu saja.
- Kalau seseorang berdoa, takdir akan dijalani dengan mudah. Yang
terjadi seakan-akan takdir yang jelek itu tertolak.
Catatan #04: Faedah Berdoa dengan
Lirih
1- Menunjukkan keimanan yang benar
karena yang memanjatkan doa tersebut mengimani kalau Allah itu mendengar doa
yang lirih.
2- Ini lebih menunjukkan adab dan
pengagungan. Hal ini dimisalkan seperti rakyat, ia tidak mungkin mengeraskan
suaranya di hadapan raja. Siapa saja yang berbicara di hadapan raja dengan
suara keras, tentu akan dibenci. Sedangkan Allah lebih sempurna dari raja.
Allah dapat mendengar doa yang lirih. Sudah sepantasnya dalam doa tersebut
dengan beradab di hadapan-Nya yaitu dengan suara yang lemah lembut (lirih).
3- Lebih menunjukkan kekhusyu’an dan ini
adalah ruh dan inti doa.
4- Lebih menunjukkan keikhlasan.
5- Lebih mudah menghimpun hati untuk
merendahkan diri dalam doa, sedangkan doa dengan suara keras lebih cenderung
tidak menyatukan hati.
6- Doa yang lemah lembut menunjukkan
kedekatan orang yang berdoa dengan Allah. Itulah pujian Allah pada Zakariya,
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
“Tatkala Zakariya berdoa kepada
Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Disebutkan bahwa para sahabat pernah
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat berdoa. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, lirihkanlah
suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak
ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh
yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari
leher tunggangannya.” (HR. Ahmad 4:402. Sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Bukhari-Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).
7- Doa yang dibaca lirih akan ajeg (kontinu)
karena anggota tubuh tidaklah merasa letih (capek) yang cepat, beda halnya jika
doa tersebut dikeraskan. Doa yang dikeraskan tidak bisa berdurasi lama, beda
halnya dengan doa yang lirih.
8- Doa lirih lebih selamat dari was-was
dibandingkan dengan doa yang dikeraskan. Doa yang dijaherkan akan lebih
membangkitkan sifat basyariah (manusiawi) yaitu ingin dipuji atau ingin
mendapatkan maksud duniawi, sehingga pengaruh doa jadi berkurang.
9- Setiap nikmat pasti ada yang hasad
(iri atau dengki). Termasuk dalam hal doa, ada saja yang iri (hasad) baik
sedikit atau banyak. Karena bisa ada yang hasad, maka baiknya memang doa itu
dilirihkan biar tidak ada iri ketika yang berdoa itu mendapatkan nikmat.
10- Dalam doa diperintahkan untuk lemah
lembut, sebagaimana dalam dzikir. Perintah dalam dzikir,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ
تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam
hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan
suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
lalai.” (QS. Al-A’raf: 205). Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan bahwa ayat
tersebut berisi perintah untuk mengingat Allah dengan hati dengan menundukkan
diri dan bersikap tenang tanpa mengeraskan suara dan tanpa berteriak-teriak.
Bersikap seperti inilah yang merupakan ruh doa dan dzikir.
Catatan ini disarikan dari Majmu’ah Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 15:15-20.
Catatan #05: Berdoa Sesudah Shalat
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى
رَبِّكَ فَارْغَبْ (8)
“Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Alam Nasyrah:
1-8)
‘Ali bin Abi
Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika engkau telah selesai (dari
shalat atau ibadah, pen.), maka berdo’alah.” Ini jadi dalil sebagian ulama
dibolehkan berdoa setelah shalat fardhu. (HR. Ath-Thabari dengan sanad yang
tsabit dari ‘Ali)
Ibnul Qayyim menyatakan masih boleh
berdoa setelah membaca dzikir bada shalat. Namun berdoa dalam shalat lebih
afdal karena saat itu orang yang shalat sedang bermunajat dengan Allah.
Ini catatan dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 7:599 dan Zaad Al-Ma’ad karya Ibnul Qayyim, 1:249-250.
Catatan #06: Berdoa dengan Selain Bahasa Arab dalam Shalat
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan
[Untuk doa ma’tsur]
Adapun jika doanya itu ma’tsur (berasal
dari Al Quran dan As Sunnah), maka ada tiga pendapat dalam masalah ini di
kalangan ulama Syafi’iyah.
Pendapat pertama, bagi yang tidak mampu
berbahasa Arab, maka ia boleh membaca terjemah dari doa tersebut. Namun bagi
yang mampu berbahasa Arab, tidak dibolehkan baginya membaca terjemahnya. Jika
ia mampu berbahasa Arab dan tetap memakai terjemah, shalatnya batal.
Pendapat kedua, boleh membaca terjemah
bagi yang bisa berbahasa Arab ataukah tidak.
Pendapat ketiga, tidak dibolehkan
membaca terjemah baik yang mampu berbahasa Arab ataukah tidak karena pada saat
itu tidak disebut darurat.
[Untuk doa yang tidak ma’tsur]
Untuk doa yang tidak ma’tsur (tidak
berasal dari Al Quran dan As Sunnah) dengan selain bahasa Arab, maka tidak
dibolehkan dan ini tidak ada khilaf dalam madzhab Syafi’i dan shalatnya bahkan
menjadi batal. Hal ini berbeda jika seseorang membuat-buat doa dengan bahasa
Arab, maka seperti itu dibolehkan dalam madzhab Syafi’i tanpa ada khilaf.
catatan dari Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab karya Imam Nawawi, 3:181.
Catatan #07: Berdoa Tak Perlu Terlalu Diperinci
‘Abdullah bin Mughoffal pernah mendengar puteranya berdoa, “Ya Allah, jika aku masuk surga berikanlah kepadaku istana berwarna putih di sebelah kanan surga.”
‘Abdullah lalu berkata pada puteranya, “Wahai anakku
jika berdoa mintalah pada Allah surga dan mintalah agar dijauhkan dari neraka
karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan datang pada umat ini orang-orang yang berlebihan dalam bersuci dan dalam
berdoa.” (HR. Abu Daud, no. 96; Ibnu Majah, no. 3864. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)
Doa yang terbaik adalah doa yang jawami’ul
kalim, yang singkat namun sarat makna seperti doa-doa yang dicontohkan
dalam Al-Qur’an dan yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Komentar
Posting Komentar